Selasa, 02 Desember 2014

Ramalan Jaya Baya

BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
     Ramalan yang bernada pilu itu pantas dikumandangkan lagi agar kita bisa berkaca diri. Para elite politik dan pemegang tampuk kekuasaan pun selayaknya merefleksikan diri atas segala sesuatu yang telah dilakukannya, yang seakan-akan justru “menggenapi” ramalan itu.
     Ramalan Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang dipercaya telah ditulis oleh Prabu Jayabaya, raja dari kerajaan Kadiri/Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Asal usul utama serat Jangka Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musarar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan tentang keasliannya, tapi sangat jelas bunyi pada bait pertama dari kitab Musarar yang menuliskan bahwasanya Jayabaya lah yang membuat ramalan-ramalan tersebut; “Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.”
     Namun harus menjadi sebuah kesadaran bahwa realitas yang lain tentang berkembangnya ramalan, akhir-akhir ini, justru semakin marak menyeruak. Semakin canggih piranti teknologi, kemudahan menikmati hidup, dan terbuka lebarnya akses informasi bukannya mengikis kepercayaan manusia modern terhadap model klenik yang satu ini. Ramalan justru seperti memanfaatkan kondisi dengan berperan mengisi kekosongan jiwa “manusia modern” dari kemiskinan spiritualitas. Ramalan bukan lagi identik dengan asap kemenyan pedupaan, spekulasi kartu tarot, bola kristal, pendulum, atau benda-benda yang dianggap memiliki tuah magis lainnya. Akan tetapi berkembang dengan menyelusup melalui layanan jasa komunikasi yang bisa diakses melalui piranti elektronik dengan biaya relatif terjangkau oleh masyarakat luas.
     Di kelas menegah ke bawah, kebangkitan ramalan ditandai dengan menguatnya isu-isu lawas tentang pentahapan jaman. Kondisi perubahan sosial kemasyarakatan yang terus didera oleh berbagai kesulitan hidup, krisis kemanusiaan berkepanjangan, dan dekadensi moral telah menumbuhkan angan-angan dan penantian akan kemunculan sosok ‘Ratu Adil’. Tidak terkecuali, ramalan seringkali menjadi pelarian atas kehidupan yang dianggap semakin tidak pasti.
     Bagi masyarakat Jawa khususnya, ramalan Jayabaya (baca: Joyoboyo) merupakan ramalan yang dianggap memiliki akurasi tinggi dalam menerangkan berbagai pertanda perubahan jaman. Ramalan ini sering diagung-agungkan sebagai memiliki gambaran tentang masa depan secara jelas dan meyakinkan. Anehnya, masyarakat yang mempercayai “kebesaran” ramalan Jayabaya, umumnya tidak memiliki pengenalan mendalam tentang keyakinannya berdasarkan sumber ‘resmi’ ramalan Jayabaya. Sikap taken for granted yang mereka tunjukkan umumnya terbentuk hanya melalui proses oral dengan sumber informasi yang tidak jarang sukar dipertanggungjawabkan. Tidak jarang mereka hanya berpatokan kepada ‘kata orang’. Demikian juga sejumlah pihak yang memposisikan diri sebagi penolak ramalan Jayabaya, umumnya juga tidak membangun sikapnya berdasarkan pengetahuan ataupun proses kajian yang jelas. Bahkan kadangkala hanya didasarkan atas sikap mula-mula yang sudah antipati terhadap istilah ‘ramalan’, maka menjadi justifikasi bahwa ramalan Jayabaya pun memiliki kadar ‘negatif’ sebagaimana penilaian awalnya.
     Hadirnya tulisan terkait ramalan Jayabaya ini bukan merupakan usaha untuk melegalkan praktek ramalan. Namun lebih merupakan upaya informatif bagi para pembaca guna bersama memahami hakikat ramalan Jayabaya. Sehingga kejelasan sikap dan tindakan pembaca, terutama sebagai seorang muslim, akan terbangun berlandaskan sebuah pemahaman yang nyata. Sekaligus dalam hal ini penulis berharap, akan tumbuh sikap bahwa baik dalam posisi menerima maupun menolak terhadap hakikat sesuatu hendaknya didasarkan pada sebuah pengetahuan dan bukan hanya berdasarkan penilaian awal yang belum tentu benar apalagi sekedar ‘kata orang’.


1.2       RumusanMasalah
1.       Apapengertiandarimitos?
2.       SiapasosokPrabu Jaya Baya?
3.       Bagaimanaasal-usulramalan Jaya Baya?
4.       Apasajaisiramalandariprabu Jaya Baya?

1.3       Tujuan
1.      Untukmengetahuipengertiandarimitos
2.      UntukmengetahuisiapasosokPrabu Jaya Baya
3.      Untukmengetahuiasal-usulramalan Jaya Baya
4.      Untukmengetahuiisiramalandariprabu Jaya Baya













BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Pengertian Mitos
            Mitos (bahasa Yunani: μῦθος— mythos) atau mite (bahasa Belanda: mythe) adalah cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar masa lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya, serta dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Dalam pengertian yang lebih luas, mitos dapat mengacu kepada cerita tradisional.Pada umumnya mitos menceritakan terjadinya alam semesta, dunia dan para makhluk penghuninya, bentuk topografi, kisah para makhluk supranatural, dan sebagainya. Mitos dapat timbul sebagai catatan peristiwa sejarah yang terlalu dilebih-lebihkan, sebagai alegori atau personifikasi bagi fenomena alam, atau sebagai suatu penjelasan tentang ritual. Mereka disebarkan untuk menyampaikan pengalaman religius atau ideal, untuk membentuk model sifat-sifat tertentu, dan sebagai bahan ajaran dalam suatu komunitas.
            Perbedaan antara mitos, legenda, dan cerita rakyat merupakan cara yang mudah dalam mengelompokkan cerita tradisonal.Dalam banyak budaya, sulit untuk menarik garis lurus antara mitos dan legenda. Daripada membagi kisah tradisional menjadi mitos, legenda, dan cerita rakyat, beberapa budaya membagi mereka menjadi dua kategori, yang satu langsung mengacu kepada cerita rakyat, yang lainnya mengkombinasikan mitos dan legenda. Bahkan mitos dan cerita rakyat tidak sepenuhnya berbeda. Suatu kisah dapat dianggap nyata (dan menjadi mitos) dalam suatu masyarakat, namun dianggap tak nyata (dan menjadi cerita rakyat) dalam masyarakat lainnya. Pada kenyataannya, saat suatu mitos kehilangan statusnya sebagai bagian dari suatu sistem religius, mitos seringkali memiliki sifat cerita rakyat yang lebih khas, dengan karakter dewa-dewi terdahulu yang diceritakan kembali sebagai manusia pahlawan, raksasa, dan peri.
Mitos, legenda, dan cerita rakyat hanyalah sebagian kategori dari cerita tradisional. Kategori lainnya meliputi anekdot dan semacam kisah jenaka. Sebaliknya, cerita tradisional adalah suatu kategori dari folklor, meliputi beberapa hal seperti sikap tubuh, busana adat, dan musik.
2.2       Sosok Prabu Jaya Baya
     Nama Jayabaya sangat populer tidak hanya dikalangan orang tradisional Jawa, tetapi juga bagi orang Indonesia umumnya, dikarenakan adanya ramalan kuno yang disebut Jangka Jayabaya, yang ramalannya seputar kemerdekaan Indonesia 1945 .
     Raja Kerajaan Kadiri/Kediri (1135-1159 Masehi) yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawatarani ndita Suhrtsingha Parakrama Digjayottunggadewan ama. Gelar yang amat panjang itu tertera pada tiga prasasti batu yang ditemukan dan dikenal sebagai peninggalan sang raja, yakni prasasti Hantang (1135 M), prasasti Talan (1136 M), dan prasasti dari Desa Jepun (1144 M). Dikisahkan bahwa, Arjuna berputra Abimanyu. Abimanyu berputra Parikesit. Parikesit berputra Yudayana. Yudayana berputra Gendrayana. Gendrayana berputra Jayabaya..
     Jayabaya adalah putera Raja Kameswara dengan Garwa Padmi (permaisuri) Cri Kirana atau yang lebih terkenal dalam legenda Putri Kirana, seorang putri yang luar biasa cantiknya dan berasal dari Jenggala. Dalam cerita rakyat dan kesusteraan Jawa, romantika cinta, keindahan dan ketabahan pasangan ini dalam menjalani cobaan hidup terkenal dalam cerita Raden Panji Inukertapati sampai menggubah syair Smaradahana (Kidung Cinta) untuk melukiskan betapa romantisnya kasing sayang pasangan Raja dan Prameswari yang kemudian dikaruniai putra bernama Jayabaya itu.
     Raja gendrayana dari mamenang mengetahui istrinya Kanjeng Ratu Widarbo Dewi Padmowati atau Putri Kirana sudah hamil, sang istri meminta woh sumawarna. karena itu sang raja lalu menitipkan kerajaan mamenang kepada patih sutikna. kemudian sang raja dengan berganti pakaian kesatria dan berpamitan kepada dua istrinya segera keluar dari kedaton mamenang.

didampingi semar gareng dan petruk prabu gendrayana menghadap resi daneswara, untuk meminta petunjuk mengenai adanya woh sumawarna yang ada di gunung aswata tersebut. sang resi mengatakan memang benar ada wahyu ratu yang ada dalam woh sumawarna yang terdapat di gunung aswata tersebut. sang prabu meminta diantarkan untuk mendekati buah sumawarna tadi.

tiba tiba datanglah macan hitam yang langsung menggondol sang prabu gendrayana. maka terjadilah perang kembang antara macan hitam dan prabu gendrayana yang berahir dengan matinya sang macan. setelah matinya sang macan berubah menjadi hyang wisnu. dimana hyang wisnu memberikan kepada prabu gendrayana woh sumawarna dengan mengatakan bahwa inilah wahyu ratu tersebut. sang prabu gendrayana sangat gembira dan menghaturkan terimakasih kemudian pamit undur diri. hyang wisnu pun menghilang.

dalam perjalanan pulang rombongan prabu gendrayana dihadang oleh pasukan kerajaan hima himantaka dibawah pimpinan prabu drawayana. mengetahui prabu gendrayana berhasil mendapat woh sumawarna maka sang prabu drawayana meminta agar woh sumawarna tersebut diberikan. karena tidak dituruti oleh prabu gendrayana maka pecahlah pertempuran diantara mereka, pasukan hima himantaka dapat dipukul mundur. raja drawayana dikalahkan oleh prabu gendrayana dan memilih untuk melarikan diri.

sesampainya di mamenang prabu gendrayana menerima kunjungan rombongan saudaranya dari hatsina, yaitu rombongan prabu yudayaka yang juga dikenal sebagai prabu sudarsana bersama para istri. mereka datang hendak melihat seperti apa bentuk wahyu woh sumawarna. maka prabu gendrayana pun menunjukan seperti apa bentuk buah sumawarna tersebut. para tetamu semua melihat dengan sangat teramat kagumnya. kemudian buah tadi diberikan kepada istrinya dewi padmowati. buah tersebut kemudian dimakan lalu lahirlah jabang bayi yang kemudian di beri nama NARAYANA atau JAYABAYA.
2.2       Asal-usul Ramalan
     Tradisi Jawa mengakui, Ramalan Jayabaya ditulis oleh Prabu Jayabaya, Raja Kerajaan Kadiri/Kediri (1135-1159 Masehi) yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawatarani ndita Suhrtsingha Parakrama Digjayottunggadewan ama.
     Pada zamannya, ditopang kekuatan armada laut yang tangguh, kekuasaannya meluas tidak hanya meliputi Tanah Jawa, tetapi hingga pantai Kalimantan. Bahkan, Ternate pun menjadi kerajaan subordinat kerajaannya. Sebagai raja dan pujangga, Prabu Jayabaya memandang jauh ke depan dengan mata hati dan perasaan. Ia meramalkan keadaan kacau balau, yang disebutnya sebagai “wolak-walik ing zaman” atau keadaan zaman yang serba jungkir balik.
     Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang dikumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).
     Kitab Jongko Joyoboyo pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah “Perdikan” yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak. Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Prabu Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru; Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat sang baginda bernama Sabda Palon dan Nayagenggong.
     Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.
     Sang pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam’iah 1672 Jawa atau 1747 Masehi, yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 Masehi.
2.3       Isi Ramalan
     Jongko Joyoboyo yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut “Kitab Asrar” karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakangnya juga menyebut nama baru itu. Kitab Asrar/Musarar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton”.
     2.3.1           Sebagian dari isi kitab Musarar yang merupakan gubahan dari Jongko Joyoboyo:
a)   Asmarandana
1.    Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
2.    Beliau sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
3.    Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negaranya.
4.    Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum (Kontantinopel/Istanbul) bernama, Sultan Maolana.
5.    Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa pantas dihormati.
6.    Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu mengenai Kitab Musarar.”
7.    Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti kehendak Dewata.
8.    Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis 3 kali.
9.    Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang ditinggal di Ka`bah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah.
10.              Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Dikelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke Pulau Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
11.              Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya.
12.              Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung.
13.              Disana ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Jayabaya seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Bhatara Wisnu.
14.              Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.
15.              Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.
16.              Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengan endangnya.
17.              Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus.
18.              Kedelapan endang seorang. Kemudian ki Ajar menghaturkan sembah: “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu waspada kemudian menarik senjata kerisnya.
19.              Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan putra raja kecewa melihat perbuatan ayahnya.
20.              Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian mereka pun pulang. Datang di kedaton, Sang Prabu berbicara dengan putranya.
21.              Hai anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda.
b) Sinom
1.    Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji, musnah raja-raja di Pulau Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi (menitis).
2.    Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada jaman lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin berobah lagi. Diberi lambang Jaman catur semune segara asat.
3.    Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia di atas bumi. Menghancurkan keburukan.
4.    Setelah 100 tahun musnah keempat kerajaan tersebut. Kemudian ada jaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang rahasia.
5.    Di dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada zaman Anderpati yang bernama Kala-wisesa.
6.    Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata negara, Setelah seratus tahun kemudian musnah.
7.    Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian berganti jaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.
8.    Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata. Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar.
9.    Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti jaman lagi. Di Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati Kalawisaya.
10.              Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa uang. Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
11.              Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan durung kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti jaman Kalajangga. Beribukota Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun kemudian musnah.
12.              Negara ini diberi lambang: cangkrama putung watange. Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti jaman di Mataram. Kalasakti Prabu Anyakrakusuma.
13.              Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
14.              Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar. Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat.
15.              Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang sempol Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu. Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
16.              Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga terpandang di pulau Jawa. Zaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang.
17.              Raja berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar: semune kenya musoni. Tidak lama kemudian berganti.
18.              Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi (Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita; Sukarno) kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti, namun nista; Suharto). Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan.
19.              Waktu itu pajaknya rakyat adalah uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak.
20.              Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka (Raja-raja yang saling balas dendam). Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram (Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan).
21.              Nakhoda (Orang asing) ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu, randa loro nututi pijer tetukar (Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya; Megawati).
22.              Tidak berkesempatan menghias diri (Raja yang tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan), sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.
23.              Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. Orang jahat makin menjadi-jadi. Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.
24.              Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan orang tua.
25.              Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda negara pecah.
26.              Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.
27.              Kemudian kelak akan datang tunjung putih semune Pudak kasungsang (Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi Mekah (Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.
28.              Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa (Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
29.              Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar, sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan, senyumnya manis sekali.

2.3.2    Bait-bait lain dari Jongko Joyoboyo

1.    Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran — Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda (mobil).
2.    Tanah Jawa kalungan wesi — Pulau Jawa berkalung besi (rel kereta api).
3.    Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang — Perahu berjalan di angkasa (pesawat terbang).
4.    Kali ilang kedhunge — Sungai kehilangan mata air.
5.    Pasar ilang kumandhang — Pasar kehilangan suara (mall, plaza).
6.    Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak — Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
7.    Bumi saya suwe saya mengkeret — Bumi semakin lama semakin mengerut/ mengecil (karena majunya teknologi).
8.    Sekilan bumi dipajeki — Sejengkal tanah dikenai pajak.
9.    Jaran doyan mangan sambel — Kuda suka makan sambal.
10.              Wong wadon nganggo pakeyan lanang — Orang perempuan berpakaian lelaki.
11.              Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman— Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik (zaman edan).
12.              Akeh janji ora ditetepi — Banyak janji tidak ditepati.
13.              Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe— Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
14.              Manungsa padha seneng nyalah— Orang-orang saling lempar kesalahan/senang berbuat salah.
15.              Ora ngendahake hukum Hyang Widhi— Tak peduli akan hukum Hyang Widhi (Tuhan).
16.              Barang jahat diangkat-angkat— Yang jahat dijunjung-junjung (diagungkan).
17.              Barang suci dibenci— Sesuatu yang suci (justru) dibenci.
18.              Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit— Banyak orang hanya mementingkan uang.
19.              Lali kamanungsan— Lupa jati kemanusiaan.
20.              Lali kabecikan— Lupa hikmah kebaikan.
21.              .Lali sanak lali kadang— Lupa sanak lupa saudara.
22.              Akeh bapa lali anak— Banyak ayah lupa anak.
23.              Akeh anak wani nglawan ibu— Banyak anak berani melawan ibu.
24.              Nantang bapa— Menantang ayah.
25.              Sedulur padha cidra— Saudara dan saudara saling khianat.
26.              Kulawarga padha curiga— Keluarga saling curiga.
27.              Kanca dadi mungsuh — Kawan menjadi lawan.
28.              Akeh manungsa lali asale — Banyak orang lupa asal-usul.
29.              Ukuman Ratu ora adil — Hukuman raja/pemimpin tidak adil.
30.              Akeh pangkat sing jahat lan ganjil-– Banyak pejabat jahat dan ganjil.
31.              Akeh kelakuan sing ganjil — Banyak ulah-tabiat yang ganjil.
32.              Wong apik-apik padha kapencil — Orang yang baik justru tersisih.
33.              Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin — Banyak orang kerja yang halal justru merasa malu.
34.              Luwih utama ngapusi — Lebih mengutamakan menipu.
35.              Wegah nyambut gawe — Malas untuk bekerja.
36.              Kepingin urip mewah — Inginnya hidup mewah.
37.              Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka — Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
38.              Wong bener thenger-thenger — Orang (yang) benar termangu-mangu (dan kesulitan).
39.              Wong salah bungah — Orang (yang) salah gembira ria.
40.              Wong apik ditampik-tampik-– Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
41.              Wong jahat munggah pangkat— Orang (yang) jahat naik pangkat.
42.              Wong agung kasinggung— Orang (yang) mulia dilecehkan.
43.              Wong ala kapuja— Orang (yang) jahat dipuji-puji.
44.              Wong wadon ilang kawirangane— perempuan hilang malunya.
45.              Wong lanang ilang kaprawirane— Laki-laki hilang perwira/kejantanannya (sifat kesatria).
46.              Akeh wong lanang ora duwe bojo— Banyak laki-laki tak mau beristri.
47.              Akeh wong wadon ora setya marang bojone— Banyak perempuan ingkar pada suami.
48.              Akeh ibu padha ngedol anake— Banyak ibu menjual anak.
49.              Akeh wong wadon ngedol awake— Banyak perempuan menjual diri.
50.              Akeh wong ijol bebojo— Banyak orang tukar istri/suami.
51.              Wong wadon nunggang jaran— Perempuan menunggang kuda (melanggar kodratnya karena menjadi kepala keluarga).
52.              Wong lanang linggih plangki— Laki-laki naik tandu (pemalas).
53.              Randha seuang loro— Dua janda seharga seuang (Red: seuang = 8,5 sen).
54.              Prawan seaga lima— Lima perawan seharga lima picis (murah).
55.              Dhudha pincang laku sembilan uang— Duda pincang laku sembilan uang (asal kaya walaupun jelek tetap laku).
56.              Akeh wong ngedol ngelmu— Banyak orang berdagang ilmu (ustad, ulama gadungan).
57.              Akeh wong ngaku-aku— Banyak orang mengaku diri (kampanye).
58.              Njabane putih njerone dhadhu— Di luar putih di dalam jingga.
59.              Ngakune suci, nanging sucine palsu— Mengaku suci, tapi palsu belaka.
60.              Akeh bujuk akeh lojo— Banyak tipu banyak muslihat.
61.              Akeh udan salah mangsa— Banyak hujan salah musim.
62.              Akeh prawan tuwa— Banyak perawan tua.
63.              Akeh randha nglairake anak— Banyak janda melahirkan bayi (tanpa nikah).
64.              Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne — Banyak anak lahir mencari bapaknya.
65.              Agomo akeh sing nantang— Agama banyak ditentang.
66.              Prikamanungsan saya ilang— Perikemanusiaan semakin hilang.
67.              Omah suci dibenci— Rumah suci (tempat ibadah) dijauhi.
68.              Omah ala saya dipuja— Rumah maksiat makin dipuja.
69.              Wong wadon lacur ing ngendi-endi— Perempuan menjual diri dimana-mana.
70.              Akeh laknat— Banyak kutukan
71.              Akeh pengkianat— Banyak pengkhianat.
72.              Anak mangan bapak—Anak makan (menindas) bapak.
73.              Sedulur mangan sedulur—Saudara makan (menindas) saudara.
74.              Kanca dadi mungsuh—Kawan menjadi lawan.
75.              Guru disatru—Guru dimusuhi.
76.              Tangga padha curiga—Tetangga saling curiga.
77.              Kana-kene saya angkara murka — Angkara murka semakin menjadi-jadi.
78.              Sing weruh kebubuhan—Barangsiapa tahu terkena beban.
79.              Sing ora weruh ketutuh—Sedang yang tak tahu disalahkan.
80.              Besuk yen ana peperangan—Kelak jika terjadi perang.
81.              Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor—Datang dari timur, barat, selatan, dan utara (perang dunia).
82.              Akeh wong becik saya sengsara— Banyak orang baik makin sengsara.
83.              Wong jahat saya seneng— Sedang yang jahat makin bahagia.
84.              Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul— Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
85.              Wong salah dianggep bener-–Orang salah dipandang benar.
86.              Pengkhianat nikmat—Pengkhianat nikmat.
87.              Durjana saya sempurna— Durjana semakin sempurna.
88.              Wong jahat munggah pangkat— Orang jahat naik pangkat.
89.              Wong lugu kebelenggu— Orang yang lugu dibelenggu.
90.              Wong mulya dikunjara— Orang yang mulia dipenjara.
91.              Sing curang garang— Yang curang berkuasa.
92.              Sing jujur kojur— Yang jujur sengsara.
93.              Pedagang akeh sing keplarang— Pedagang banyak yang tenggelam.
94.              Wong main akeh sing ndadi—Penjudi banyak merajalela.
95.              Akeh barang haram—Banyak barang haram.
96.              Akeh anak haram—Banyak anak haram.
97.              Wong wadon nglamar wong lanang—Perempuan melamar laki-laki.
98.              Wong lanang ngasorake drajate dhewe—Laki-laki memperhina derajat sendiri.
99.              Akeh barang-barang mlebu luang—Banyak barang terbuang-buang.
100.          Akeh wong kaliren lan wuda—Banyak orang lapar dan telanjang.
101.          Wong tuku ngglenik sing dodol—Pembeli membujuk penjual.
102.          Sing dodol akal okol—Si penjual bermain siasat.
103.          Sing kebat kliwat—Yang tangkas lepas.
104.          Sing telah sambat—Yang terlanjur menggerutu.
105.          Sing gedhe kesasar—Yang besar tersasar.
106.          Sing cilik kepleset—Yang kecil terpeleset.
107.          Sing anggak ketunggak—Yang congkak terbentur.
108.          Sing wedi mati—Yang takut mati.
109.          Sing nekat mbrekat—Yang nekat mendapat berkat.
110.          Sing jerih ketindhih—Yang hati kecil tertindih.
111.          Sing ngawur makmur—Yang ngawur makmur.
112.          Sing ngati-ati ngrintih—Yang berhati-hati merintih.
113.          Sing ngedan keduman—Yang main gila menerima bagian.
114.          Sing waras nggagas—Yang sehat pikiran berpikir.
115.          Wong tani ditaleni—Orang (yang) bertani diikat.
116.          Wong dora ura-ura—Orang (yang) bohong berdendang.
117.          Bupati dadi rakyat—Pegawai tinggi menjadi rakyat.
118.          Wong cilik dadi priyayi—Rakyat kecil jadi priyayi.
119.          Sing mendele dadi gedhe—Yang curang jadi besar.
120.          Sing jujur kojur—Yang jujur celaka.
121.          Akeh omah ing ndhuwur jaran—Banyak rumah di punggung kuda.
122.          Wong mangan wong—Orang makan sesamanya.
123.          Anak lali bapak—Anak lupa bapa.
124.          Wong tuwa lali tuwane—Orang tua lupa ketuaan mereka.
125.          Pedagang adol barang saya laris—Jualan pedagang semakin laris.
126.          Bandhane saya ludhes—Namun harta mereka makin habis.
127.          Sing edan bisa dandan—Yang gila bisa bersolek.
128.          Ana peperangan ing njero—Terjadi perang di dalam.
129.          Durjana saya ngambra-ambra—Kejahatan makin merajalela.
130.          Penjahat saya tambah—Penjahat makin banyak.
131.          Wong apik saya sengsara—Yang baik makin sengsara.
132.          Kebingungan lan kobongan—Karena bingung dan kebakaran.
133.          Wong bener saya thenger-thenger-–Si benar makin tertegun.
134.          Wong salah saya bungah-bungah—Si salah makin sorak sorai.
135.          Isih untung sing waspada—Masih lebih beruntung si waspada.
136.          Angkara murka saya ndadi—Angkara murka semakin menjadi.
137.          Kana-kene saya bingung-–Di sana-sini makin bingung.
138.          Pedagang akeh alangane—Pedagang banyak rintangan.
139.          Akeh buruh nantang juragan—Banyak buruh melawan majikan.
140.          Juragan dadi umpan—Majikan menjadi umpan.
141.          Wong pinter diingar-ingar—Si pandai direcoki.
142.          Wong ala diuja—Si jahat dimanjakan.
143.          Wong ngerti mangan ati—Orang yang mengerti makan hati.
144.          Bandha dadi memala—Harta benda menjadi penyakit
145.          Pangkat dadi pemikat—Pangkat/jabatan menjadi pemukau.
146.          Patihe kepala judhi—Maha menterinya bandar judi.
147.          Wong sing atine suci dibenci—Yang berhati suci dibenci.
148.          Pemerasan saya ndadra—Pemerasan merajalela.
149.          Pitik angrem saduwure pikulan—Ayam mengeram di atas pikulan.
150.          Begal pada ndhugal—Penyamun semakin kurang ajar.
151.          Rampok padha keplok-keplok—Perampok semua bersorak-sorai.
152.          Wong jaga nyolong sing dijaga—Si penjaga mencuri yang dijaga.
153.          Wong njamin njaluk dijamin—Si penjamin minta dijamin.
154.          Akeh wong mendem donga—Banyak orang mabuk doa.
155.          Angkara murka ngombro-ombro—Angkara murka menjadi-jadi.
156.          Agama ditantang—Agama ditantang.
157.          Akeh wong angkara murka—Banyak orang angkara murka.
158.          Nggedhekake duraka—Membesar-besarkan durhaka.
159.          Ukum agama dilanggar—Hukum agama dilanggar.
160.          Prikamanungsan di-iles-iles—Perikemanusiaan diinjak-injak.
161.          Kasusilan ditinggal—Tata susila diabaikan.
162.          Wong cilik akeh sing kepencil—Rakyat kecil banyak tersingkir.
163.          Negarane ambane saprawolon—Lebar negeri seperdelapan dunia.
164.          Wong jahat ditampa—Orang jahat diterima.
165.          Wong suci dibenci—Orang suci dibenci.
166.          Timah dianggep perak—Timah dianggap perak.
167.          Emas diarani tembaga—Emas dibilang tembaga.
168.          Dandang dikandakake kuntul—Gagak disebut bangau.
169.          Wong dosa sentosa—Orang berdosa sentosa.
170.          Wong cilik disalahake—Rakyat jelata dipersalahkan.
171.          Wong nganggur kesungkur—Si penganggur tersungkur.
172.          Wong sregep krungkep—Si tekun terjerembab.
173.          Wong nyengit kesengit—Orang busuk hati dibenci.
174.          Buruh mangluh—Buruh menangis.
175.          Wong sugih krasa wedi—Orang kaya ketakutan.
176.          Wong wedi dadi priyayi—Orang takut jadi priyayi.
177.          Senenge wong jahat-–Berbahagialah si jahat.
178.          Susahe wong cilik—Bersusahlah rakyat kecil.
179.          Akeh wong dakwa dinakwa—Banyak orang saling tuduh.
180.          Tindake manungsa saya kuciwa—Ulah manusia semakin tercela.
181.          Wong Jawa kari separo—Orang Jawa tinggal setengah.
182.          Landa-Cina kari sejodho — Belanda-Cina tinggal sepasang.
183.          Sing eman ora keduman—Si hemat tidak mendapat bagian.
184.          Sing keduman ora eman—Yang mendapat bagian tidak berhemat.
185.          Akeh wong mbambung—Banyak orang berulah dungu.
186.          Akeh wong limbung—Banyak orang limbung (kosong pikiran).
     2.3.3           PembagianzamanmenurutPrabu Jaya Baya
     Selain yang telah disebutkan di atas, Prabu Jayabaya pada akhirnya membagi zaman yang sudah, sedang dan akan terjadi nanti, khususnya di Nusantara. Lama waktunya yaitu 2.100 tahun matahari (1 tahun matahari = ±10,3 tahun kita sekarang). Ramalannya itu lalu menjadi Tri-takali, yaitu:
1.    Zaman permulaan disebut KALI-SWARA, lamanya 700 th matahari (721 th bulan). Pada waktu itu di jawa banyak terdengar suara alam, gara-gara geger, halintar, petir, serta banyak kejadian-kejadian yang ajaib dikarenakan banyak manusia menjadi dewa dan dewa turun ke Bumi menjadi manusia.
2.    Zaman pertengahan disebut KALI-YOGA. Pada waktu ini banyak perubahan pada Bumi, Bumi belah menyebabkan terjadinya pulau kecil-kecil, banyak makhluk yang salah jalan, karena orang yang mati banyak menjelma (nitis).
3.    Zaman akhir disebut KALI-SANGARA, 700 th. Pada waktu ini banyak hujan salah mangsa (musim) dan banyak kali dan bengawan (sungai) bergeser, Bumi kurang manfaatnya, menghambat datangnya kebahagian, mengurangi rasa-terima, sebab manusia yang mati banyak yang tetap memegang ilmunya.
     Tiga zaman tersebut lalu masing-masingnya dibagi lagi menjadi Saptama-kala, artinya zaman kecil-kecil. Tiap zaman rata-rata berumur 100 tahun matahari (103 tahun bulan). Seperti berikut ini:
     ZAMAN KALI-SWARA
     dibagi menjadi:
1)   Kala-kukila 100 th, (th. 1-100): Hidupnya orang seperti burung, berebutan mana yang kuat dia yang menang, belum ada raja, jadi belum ada yang mengatur/memerintah.
2)   Kala-buddha (th. 101-200): Permulaan orang Jawa masuk agama Buddha menurut syariat Hyang Jagadnata (Bhatara Guru).
3)   Kala-brawa (th. 201 – 300): Orang-orang di Jawa mengatur ibadahnya kepada Dewa, sebab banyak Dewa yang turun ke bumi menyiarkan ilmu.
4)   Kala-tirta (th. 301-400): Banjir besar, air laut menggenang daratan, di sepanjang air itu bumi menjadi belah dua. Yang sebelah barat disebut pulau Sumatra, lalu banyak muncul sumber-sumber air, disebut umbul, sedang, telaga, dsb.
5)   Kala-swabara (th. 401-500): Banyak keajaiban yang tampak atau menimpa diri manusia.
6)   Kala-rebawa (th. 501-600): Orang Jawa mengadakan keramaian-kesenian dsb.
7)   Kala-purwa (th. 601-700): Banyak tumbuh2an keturunan orang-orang besar yang sudah menjadi orang biasa mulai jadi orang besar lagi.
     ZAMAN KALA-YOGA
     dibagi menjadi:
1)   Kala-brata (th. 701-800): Orang mengalami hidup sebagai fakir.
2)   Kala-drawa (th. 801-900): Banyak orang mendapat ilham, orang pandai menerangkan hal-hal yang gaib.
3)   Kala-dwawara (th. 901-1.000): Banyak kejadian yang mustahil.
4)   Kala-praniti (th. 1.001- 1.101): Banyak orang mementingkan ulah pikir.
5)   Kala-teteka (th. 1.101 – 1.200): Banyak orang datang dari negeri-negeri lain.
6)   Kala-wisesa (th. 1.201 – 1.300): Banyak orang yang terhukum.
7)   Kala-wisaya (th. 1.301 – 1.400): Banyak orang memfitnah.
     ZAMAN KALA-SANGARA
     dibagi menjadi:
1)   Kala-jangga (th. 1.401 – 1.500): Banyak orang ulah kehebatan.
2)   Kala-sakti (th. 1.501 – 1.600): Banyak orang ulah kesaktian.
3)   Kala-jaya (th. 1.601 – 1.700): Banyak orang ulah kekuatan untuk tulang punggung kehidupannya.
4)   Kala-bendu (th. 1.701 – 1.800): Banyak orang senang berbantahan, akhirnya bentrokkan (zaman kita sekarang).
5)   Kala-suba (th. 1.801 – 1.900 ): Pulau Jawa mulai sejahtera, tanpa kesulitan, orang bersenang hati.
6)   Kala-sumbaga (th. 1.901 – 2.000): Banyak orang tersohor pandai dan hebat.
7)   Kala-surasa (th. 2.001 – 2.100): Pulau Jawa ramai sejahtera, serba teratur, tak ada kesulitan, banyak orang ulah asmara.











BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
            Mitos adalah serangkaian cerita masa lalu yang dianut oleh masyarakat setempat yang di akui kebenarannya tetapi belum terbukti konkrit kebenarannya secara ilmiah.Untuk itu, marilah kita semua, khususnya para pemimpin dan generasi muda bangsa ini untuk kembali pada jati diri kita sendiri sebagai bangsa Nusantara. Mari kita menilai apa yang sudah diwasiatkan oleh para leluhur di atas sebagai bahan refleksi untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara kedepannya. Banggalah menjadi bagian dari bangsa yang dulunya sangat besar – bahkan pernah memimpin dunia – ini, dengan terus membangkitkan rasa percaya diri dan tidak terlalu gandrung dengan budaya bangsa lain. Paculah kemajuan bangsa dengan banyak berkarya dan tidak hanya menjadi masyarakat konsumtif, yang ujung-ujungnya jadi “sapi perahnya” bangsa lain. Karena kita ini hebat dan punya kebudayaan yang tinggi, yang dulunya pernah disegani di seluruh dunia.
3.2       Saran
            Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam makalah yang berjudul “MitosRamalan Joyo Boyo”  ini. Oleh karena itu dibutuhkan kritik yang membangun serta saran dari pembaca demi terciptanya karya yang lebih baik. Diharapkan penulisan makalah ini dapat menjadi informasi yang berguna dengan baik dan dapat memberi manfaat bagi yang membaca.






DAFTAR PUSTAKA
Dewabrata.2011.Lahirnya Jayabaya,(online)
Diakses 11 Oktober 2014.

Gresikgress.2012.Lahirnya Riwayat singkat prabu jayabaya,(online)

Wikipedia.id.2014.Mitos,(online)
http://id.wikipedia.org/wiki/Mitos. Diakses 11 Oktober 2014.

Oediku.2013.Lahirnya Jayabaya,(online)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar