BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ramalan yang bernada pilu itu pantas
dikumandangkan lagi agar kita bisa berkaca diri. Para elite politik dan
pemegang tampuk kekuasaan pun selayaknya merefleksikan diri atas segala sesuatu
yang telah dilakukannya, yang seakan-akan justru “menggenapi” ramalan itu.
Ramalan Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang dipercaya
telah ditulis oleh Prabu Jayabaya, raja dari kerajaan Kadiri/Kediri. Ramalan
ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara
turun temurun oleh para pujangga. Asal usul utama serat Jangka Jayabaya dapat
dilihat pada kitab Musarar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun
banyak keraguan tentang keasliannya, tapi sangat jelas bunyi pada bait pertama
dari kitab Musarar yang menuliskan bahwasanya Jayabaya lah yang membuat
ramalan-ramalan tersebut; “Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di
Kediri yang gagah perkasa, musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.”
Namun
harus menjadi sebuah kesadaran bahwa realitas yang lain tentang berkembangnya
ramalan, akhir-akhir ini, justru semakin marak menyeruak. Semakin canggih
piranti teknologi, kemudahan menikmati hidup, dan terbuka lebarnya akses informasi
bukannya mengikis kepercayaan manusia modern terhadap model klenik yang satu
ini. Ramalan justru seperti memanfaatkan kondisi dengan berperan mengisi
kekosongan jiwa “manusia modern” dari kemiskinan spiritualitas. Ramalan bukan
lagi identik dengan asap kemenyan pedupaan, spekulasi kartu tarot, bola
kristal, pendulum, atau benda-benda yang dianggap memiliki tuah magis lainnya.
Akan tetapi berkembang dengan menyelusup melalui layanan jasa komunikasi yang
bisa diakses melalui piranti elektronik dengan biaya relatif terjangkau oleh
masyarakat luas.
Di
kelas menegah ke bawah, kebangkitan ramalan ditandai dengan
menguatnya isu-isu lawas tentang pentahapan jaman. Kondisi perubahan sosial
kemasyarakatan yang terus didera oleh berbagai kesulitan hidup, krisis kemanusiaan
berkepanjangan, dan dekadensi moral telah menumbuhkan angan-angan dan penantian
akan kemunculan sosok ‘Ratu Adil’. Tidak terkecuali, ramalan seringkali menjadi
pelarian atas kehidupan yang dianggap semakin tidak pasti.
Bagi
masyarakat Jawa khususnya, ramalan Jayabaya (baca: Joyoboyo) merupakan
ramalan yang dianggap memiliki akurasi tinggi dalam menerangkan berbagai
pertanda perubahan jaman. Ramalan ini sering diagung-agungkan sebagai memiliki
gambaran tentang masa depan secara jelas dan meyakinkan. Anehnya, masyarakat
yang mempercayai “kebesaran” ramalan Jayabaya, umumnya tidak memiliki
pengenalan mendalam tentang keyakinannya berdasarkan sumber ‘resmi’ ramalan
Jayabaya. Sikap taken for granted yang mereka tunjukkan umumnya
terbentuk hanya melalui proses oral dengan sumber informasi yang tidak jarang
sukar dipertanggungjawabkan. Tidak jarang mereka hanya berpatokan kepada ‘kata
orang’. Demikian juga sejumlah pihak yang memposisikan diri sebagi penolak
ramalan Jayabaya, umumnya juga tidak membangun sikapnya berdasarkan pengetahuan
ataupun proses kajian yang jelas. Bahkan kadangkala hanya didasarkan atas sikap
mula-mula yang sudah antipati terhadap istilah ‘ramalan’, maka menjadi
justifikasi bahwa ramalan Jayabaya pun memiliki kadar ‘negatif’ sebagaimana
penilaian awalnya.
Hadirnya
tulisan terkait ramalan Jayabaya ini bukan merupakan usaha untuk melegalkan
praktek ramalan. Namun lebih merupakan upaya informatif bagi para pembaca guna
bersama memahami hakikat ramalan Jayabaya. Sehingga kejelasan sikap dan
tindakan pembaca, terutama sebagai seorang muslim, akan terbangun berlandaskan
sebuah pemahaman yang nyata. Sekaligus dalam hal ini penulis berharap, akan
tumbuh sikap bahwa baik dalam posisi menerima maupun menolak terhadap hakikat
sesuatu hendaknya didasarkan pada sebuah pengetahuan dan bukan hanya
berdasarkan penilaian awal yang belum tentu benar apalagi sekedar ‘kata orang’.
1.2 RumusanMasalah
1.
Apapengertiandarimitos?
2.
SiapasosokPrabu Jaya Baya?
3.
Bagaimanaasal-usulramalan Jaya Baya?
4.
Apasajaisiramalandariprabu Jaya Baya?
1.3 Tujuan
1.
Untukmengetahuipengertiandarimitos
2.
UntukmengetahuisiapasosokPrabu Jaya Baya
3.
Untukmengetahuiasal-usulramalan Jaya Baya
4.
Untukmengetahuiisiramalandariprabu Jaya Baya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Mitos
Mitos
(bahasa Yunani: μῦθος— mythos) atau mite (bahasa Belanda: mythe) adalah cerita
prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar masa lampau, mengandung
penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya, serta
dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Dalam
pengertian yang lebih luas, mitos dapat mengacu kepada cerita tradisional.Pada
umumnya mitos menceritakan terjadinya alam semesta, dunia dan para makhluk
penghuninya, bentuk topografi, kisah para makhluk supranatural, dan sebagainya.
Mitos dapat timbul sebagai catatan peristiwa sejarah yang terlalu
dilebih-lebihkan, sebagai alegori atau personifikasi bagi fenomena alam, atau
sebagai suatu penjelasan tentang ritual. Mereka disebarkan untuk menyampaikan
pengalaman religius atau ideal, untuk membentuk model sifat-sifat tertentu, dan
sebagai bahan ajaran dalam suatu komunitas.
Perbedaan
antara mitos, legenda, dan cerita rakyat merupakan cara yang mudah dalam
mengelompokkan cerita tradisonal.Dalam banyak budaya, sulit untuk menarik garis
lurus antara mitos dan legenda. Daripada membagi kisah tradisional menjadi
mitos, legenda, dan cerita rakyat, beberapa budaya membagi mereka menjadi dua
kategori, yang satu langsung mengacu kepada cerita rakyat, yang lainnya
mengkombinasikan mitos dan legenda. Bahkan mitos dan cerita rakyat tidak
sepenuhnya berbeda. Suatu kisah dapat dianggap nyata (dan menjadi mitos) dalam
suatu masyarakat, namun dianggap tak nyata (dan menjadi cerita rakyat) dalam
masyarakat lainnya. Pada kenyataannya, saat suatu mitos kehilangan statusnya
sebagai bagian dari suatu sistem religius, mitos seringkali memiliki sifat
cerita rakyat yang lebih khas, dengan karakter dewa-dewi terdahulu yang
diceritakan kembali sebagai manusia pahlawan, raksasa, dan peri.
Mitos, legenda, dan cerita rakyat hanyalah sebagian
kategori dari cerita tradisional. Kategori lainnya meliputi anekdot dan semacam
kisah jenaka. Sebaliknya, cerita tradisional adalah suatu kategori dari
folklor, meliputi beberapa hal seperti sikap tubuh, busana adat, dan musik.
2.2 Sosok Prabu Jaya Baya
Nama Jayabaya sangat populer tidak hanya dikalangan orang
tradisional Jawa, tetapi juga bagi orang Indonesia umumnya, dikarenakan adanya
ramalan kuno yang disebut Jangka Jayabaya, yang ramalannya seputar kemerdekaan
Indonesia 1945 .
Raja Kerajaan Kadiri/Kediri (1135-1159 Masehi) yang bergelar Sri
Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawatarani ndita Suhrtsingha Parakrama
Digjayottunggadewan ama. Gelar yang amat panjang itu tertera pada tiga prasasti
batu yang ditemukan dan dikenal sebagai peninggalan sang raja, yakni prasasti
Hantang (1135 M), prasasti Talan (1136 M), dan prasasti dari Desa Jepun (1144
M). Dikisahkan bahwa, Arjuna berputra Abimanyu. Abimanyu berputra Parikesit.
Parikesit berputra Yudayana. Yudayana berputra Gendrayana. Gendrayana berputra
Jayabaya..
Jayabaya adalah putera Raja Kameswara
dengan Garwa Padmi (permaisuri) Cri Kirana atau yang lebih terkenal dalam
legenda Putri Kirana, seorang putri yang luar biasa cantiknya dan berasal dari
Jenggala. Dalam cerita rakyat dan kesusteraan Jawa, romantika cinta, keindahan
dan ketabahan pasangan ini dalam menjalani cobaan hidup terkenal dalam cerita
Raden Panji Inukertapati sampai menggubah syair Smaradahana (Kidung Cinta)
untuk melukiskan betapa romantisnya kasing sayang pasangan Raja dan Prameswari
yang kemudian dikaruniai putra bernama Jayabaya itu.
Raja gendrayana dari mamenang mengetahui
istrinya Kanjeng Ratu Widarbo Dewi Padmowati atau Putri Kirana sudah hamil,
sang istri meminta woh sumawarna. karena itu sang raja lalu menitipkan kerajaan
mamenang kepada patih sutikna. kemudian sang raja dengan berganti pakaian
kesatria dan berpamitan kepada dua istrinya segera keluar dari kedaton
mamenang.
didampingi
semar gareng dan petruk prabu gendrayana menghadap resi daneswara, untuk
meminta petunjuk mengenai adanya woh sumawarna yang ada di gunung aswata
tersebut. sang resi mengatakan memang benar ada wahyu ratu yang ada dalam woh
sumawarna yang terdapat di gunung aswata tersebut. sang prabu meminta
diantarkan untuk mendekati buah sumawarna tadi.
tiba
tiba datanglah macan hitam yang langsung menggondol sang prabu gendrayana. maka
terjadilah perang kembang antara macan hitam dan prabu gendrayana yang berahir
dengan matinya sang macan. setelah matinya sang macan berubah menjadi hyang
wisnu. dimana hyang wisnu memberikan kepada prabu gendrayana woh sumawarna
dengan mengatakan bahwa inilah wahyu ratu tersebut. sang prabu gendrayana
sangat gembira dan menghaturkan terimakasih kemudian pamit undur diri. hyang
wisnu pun menghilang.
dalam
perjalanan pulang rombongan prabu gendrayana dihadang oleh pasukan kerajaan
hima himantaka dibawah pimpinan prabu drawayana. mengetahui prabu gendrayana
berhasil mendapat woh sumawarna maka sang prabu drawayana meminta agar woh
sumawarna tersebut diberikan. karena tidak dituruti oleh prabu gendrayana maka
pecahlah pertempuran diantara mereka, pasukan hima himantaka dapat dipukul
mundur. raja drawayana dikalahkan oleh prabu gendrayana dan memilih untuk melarikan
diri.
sesampainya
di mamenang prabu gendrayana menerima kunjungan rombongan saudaranya dari
hatsina, yaitu rombongan prabu yudayaka yang juga dikenal sebagai prabu
sudarsana bersama para istri. mereka datang hendak melihat seperti apa bentuk
wahyu woh sumawarna. maka prabu gendrayana pun menunjukan seperti apa bentuk
buah sumawarna tersebut. para tetamu semua melihat dengan sangat teramat
kagumnya. kemudian buah tadi diberikan kepada istrinya dewi padmowati. buah
tersebut kemudian dimakan lalu lahirlah jabang bayi yang kemudian di beri nama
NARAYANA atau JAYABAYA.
2.2 Asal-usul Ramalan
Tradisi Jawa mengakui, Ramalan Jayabaya ditulis oleh Prabu
Jayabaya, Raja Kerajaan Kadiri/Kediri (1135-1159 Masehi) yang bergelar Sri
Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawatarani ndita Suhrtsingha Parakrama
Digjayottunggadewan ama.
Pada zamannya, ditopang kekuatan armada laut yang tangguh,
kekuasaannya meluas tidak hanya meliputi Tanah Jawa, tetapi hingga pantai
Kalimantan. Bahkan, Ternate pun menjadi kerajaan subordinat kerajaannya.
Sebagai raja dan pujangga, Prabu Jayabaya memandang jauh ke depan dengan mata
hati dan perasaan. Ia meramalkan keadaan kacau balau, yang disebutnya sebagai “wolak-walik ing zaman” atau keadaan
zaman yang serba jungkir balik.
Dari berbagai sumber dan keterangan yang
ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa
sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan
Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang dikumpulkannya pada tahun Saka 1540 =
1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton
tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka
atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari
Mataram bertahta (1613-1645 M).
Kitab Jongko Joyoboyo pertama dan dipandang
asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya
Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743
M. Sang pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka,
yang artinya punya kekuasaan wilayah “Perdikan” yang berkedudukan di Kadilangu,
dekat Demak. Memang beliau keturunan Sunan
Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari
dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Prabu Brawijaya terakhir (ke-5)
mengikuti agama baru; Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga,
Brawijaya ke-V dan Penasehat sang baginda bernama Sabda Palon dan Nayagenggong.
Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga
Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya
sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit,
Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll.
Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang,
Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704.
Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada
waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi
Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG.
Van Hoorn.
Sang pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7
Maulud Tahun Be Jam’iah 1672 Jawa atau 1747 Masehi, yang pada zamannya Sri Paku
Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh
puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II
di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga
keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10
Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 Masehi.
2.3 Isi Ramalan
Jongko Joyoboyo yang kita kenal sekarang
ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut “Kitab
Asrar” karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga
dibelakangnya juga menyebut nama baru itu. Kitab Asrar/Musarar itu memuat
lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya
negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu
Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri
Kedaton”.
2.3.1 Sebagian dari
isi kitab Musarar yang merupakan gubahan dari Jongko Joyoboyo:
a)
Asmarandana
1.
Kitab
Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut
dan takluk, tak ada yang berani.
2.
Beliau
sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung,
pasukannya raja-raja.
3.
Terkisahkan
bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja
di Pagedongan. Sangat raharja negaranya.
4.
Hal
tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan
mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum (Kontantinopel/Istanbul) bernama,
Sultan Maolana.
5.
Lengkapnya
bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu
tersebut seorang raja pandita lain bangsa pantas dihormati.
6.
Setelah
duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya
memberi petuah padamu mengenai Kitab Musarar.”
7.
Yang
menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang
lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah
mengerti kehendak Dewata.
8.
Sang
Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah
diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis 3 kali.
9.
Kelak
akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang ditinggal di Ka`bah yang membawa
Imam Supingi untuk menaikkan kutbah.
10.
Senjata
ecis itu yang bernama Udharati. Dikelak kemudian hari ada Maolana masih cucu
Rasul yang mengembara sampai ke Pulau Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi
punden Tanah Jawa.
11.
Raja
Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu
bulan Sang Prabu memanggil putranya.
12.
Setelah
sang putra datang lalu diajak ke gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah
datang lalu naik ke gunung.
13.
Disana
ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Jayabaya seorang raja yang
berincoknito termasuk titisan Bhatara Wisnu.
14.
Karenanya
Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang
Prabu menerima sasmita gaib.
15.
Bila
Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu
dengan ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata sehingga apa yang
dikehendaki terjadi.
16.
Tergopoh-gopoh
menghormati. Setelah duduk ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji.
Berwarna-warni isinya. Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengan endangnya.
17.
Jadah
(ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu bungkus, darah
sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus.
18.
Kedelapan
endang seorang. Kemudian ki Ajar menghaturkan sembah: “Inilah hidangan kami
untuk sang Prabu”. Sang Prabu waspada kemudian menarik senjata kerisnya.
19.
Ki
Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi.
Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan putra raja kecewa melihat
perbuatan ayahnya.
20.
Sang
putra akan bertanya merasa takut. Kemudian mereka pun pulang. Datang di
kedaton, Sang Prabu berbicara dengan putranya.
21.
Hai
anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya
Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda.
b)
Sinom
1.
Dia
itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai kitab Musarar. Sama seperti
saya. Namun dia menyalahi janji, musnah raja-raja di Pulau Jawa. Toh saya sudah
diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi (menitis).
2.
Bila
sudah menitis tiga kali kemudian ada jaman lagi bukan perbuatan saya. Sudah
dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin berobah lagi. Diberi lambang Jaman
catur semune segara asat.
3.
Itulah
Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan saya.
Negaranya bahagia di atas bumi. Menghancurkan keburukan.
4.
Setelah
100 tahun musnah keempat kerajaan tersebut. Kemudian ada jaman lagi yang bukan
milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang
rahasia.
5.
Di
dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian harap diketahui oleh anak cucu
bahwa akan ada zaman Anderpati yang bernama Kala-wisesa.
6.
Lambangnya:
Sumilir naga kentir semune liman pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut
tanpa keadilan dan tata negara, Setelah seratus tahun kemudian musnah.
7.
Sebab
berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi pajak emas. Sebab saya mendapat
hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian berganti jaman di Majapahit
dengan rajanya Prabu Brawijaya.
8.
Demikian
nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata. Alamnya disebut Anderpati, lamanya
sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara berupa picis (uang). Ternyata waktu itu
dari hidangan ki Ajar.
9.
Hidangannya
Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian
berganti jaman lagi. Di Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan
pemimpinnya bergelar Diyati Kalawisaya.
10.
Enam
puluh lima tahun kemudian musnah. Yang bertahta Ratu Adil serta wali dan
pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa uang. Temyata saya diberi hidangan
bunga Melati oleh ki Ajar.
11.
Negara
tersebut diberi lambang: Kekesahan durung kongsi kaselak kampuhe bedah.
Kemudian berganti jaman Kalajangga. Beribukota Pajang dengan hukum seperti di
Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun kemudian musnah.
12.
Negara
ini diberi lambang: cangkrama putung watange. Orang di desa terkena pajak
pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi hidangan sebatang pohon kajar.
Kemudian berganti jaman di Mataram. Kalasakti Prabu Anyakrakusuma.
13.
Dicintai
pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa.
Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali serta pandita, bersatu dalam diri
Sang Prabu yang adil.
14.
Raja
perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu itu saya
mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar. Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa
semune lintang sinipat.
15.
Kemudian
berganti lagi dengan lambang: Kembang sempol Semune modin tanpa sreban. Raja
yang keempat yang penghabisan diberi lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus
tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu. Kemudian ada nakhoda yang datang
berdagang.
16.
Berdagang
di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan
selalu menang, sehingga terpandang di pulau Jawa. Zaman sudah berganti meskipun
masih keturunan Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang.
17.
Raja
berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan
gelar Layon keli semune satriya brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar:
semune kenya musoni. Tidak lama kemudian berganti.
18.
Nama
rajanya Lung gadung rara nglikasi (Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal,
namun memiliki kelemahan suka wanita; Sukarno) kemudian berganti gajah meta
semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti, namun nista; Suharto). Enam
puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak
karu-karuan.
19.
Waktu
itu pajaknya rakyat adalah uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan
darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak.
Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak.
20.
Negara
rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian
berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka (Raja-raja yang saling balas dendam).
Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram (Dua kekuatan pimpinan yang saling
jegal ingin menjatuhkan).
21.
Nakhoda
(Orang asing) ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang
arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang
jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu, randa loro nututi
pijer tetukar (Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk
menggantikannya; Megawati).
22.
Tidak
berkesempatan menghias diri (Raja yang tidak sempat mengatur negara sebab
adanya masalah-masalah yang merepotkan), sinjang kemben tan tinolih itu sebuah
lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang
Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.
23.
Pajak
rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang.
Hasilnya berkurang. Orang jahat makin menjadi-jadi. Orang besar
hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.
24.
Hukum
dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak
ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap benar. Setan menyamar
sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan orang tua.
25.
Wanita
hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang seorang oleh ki Ajar.
Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda negara pecah.
26.
Banyak
hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa
tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.
27.
Kemudian
kelak akan datang tunjung putih semune Pudak kasungsang (Raja berhati putih
namun masih tersembunyi). Lahir di bumi Mekah (Orang Islam yang sangat
bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan
di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.
28.
Raja
keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa (Orang Islam yang
sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa (kawruh
Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai
pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
29.
Waktu
itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar, sebab saya diberi hidangan bunga
seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan,
senyumnya manis sekali.
2.3.2 Bait-bait lain
dari Jongko Joyoboyo
1.
Besuk
yen wis ana kreta tanpa jaran — Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda (mobil).
2.
Tanah
Jawa kalungan wesi — Pulau Jawa berkalung besi (rel kereta api).
3.
Prahu
mlaku ing dhuwur awang-awang — Perahu berjalan di angkasa (pesawat terbang).
4.
Kali
ilang kedhunge — Sungai kehilangan mata air.
5.
Pasar
ilang kumandhang — Pasar kehilangan suara (mall, plaza).
6.
Iku
tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak — Itulah pertanda zaman Jayabaya
telah mendekat.
7.
Bumi
saya suwe saya mengkeret — Bumi semakin lama semakin mengerut/ mengecil (karena
majunya teknologi).
8.
Sekilan
bumi dipajeki — Sejengkal tanah dikenai pajak.
9.
Jaran
doyan mangan sambel — Kuda suka makan sambal.
10.
Wong
wadon nganggo pakeyan lanang — Orang perempuan berpakaian lelaki.
11.
Iku
tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman— Itu pertanda orang akan
mengalami zaman berbolak-balik (zaman edan).
12.
Akeh
janji ora ditetepi — Banyak janji tidak ditepati.
13.
Akeh
wong wani nglanggar sumpahe dhewe— Banyak orang berani melanggar sumpah
sendiri.
14.
Manungsa
padha seneng nyalah— Orang-orang saling lempar kesalahan/senang berbuat salah.
15.
Ora
ngendahake hukum Hyang Widhi— Tak peduli akan hukum Hyang Widhi (Tuhan).
16.
Barang
jahat diangkat-angkat— Yang jahat dijunjung-junjung (diagungkan).
17.
Barang
suci dibenci— Sesuatu yang suci (justru) dibenci.
18.
Akeh
manungsa mung ngutamakke dhuwit— Banyak orang hanya mementingkan uang.
19.
Lali
kamanungsan— Lupa jati kemanusiaan.
20.
Lali
kabecikan— Lupa hikmah kebaikan.
21.
.Lali
sanak lali kadang— Lupa sanak lupa saudara.
22.
Akeh
bapa lali anak— Banyak ayah lupa anak.
23.
Akeh
anak wani nglawan ibu— Banyak anak berani melawan ibu.
24.
Nantang
bapa— Menantang ayah.
25.
Sedulur
padha cidra— Saudara dan saudara saling khianat.
26.
Kulawarga
padha curiga— Keluarga saling curiga.
27.
Kanca
dadi mungsuh — Kawan menjadi lawan.
28.
Akeh
manungsa lali asale — Banyak orang lupa asal-usul.
29.
Ukuman
Ratu ora adil — Hukuman raja/pemimpin tidak adil.
30.
Akeh
pangkat sing jahat lan ganjil-– Banyak pejabat jahat dan ganjil.
31.
Akeh
kelakuan sing ganjil — Banyak ulah-tabiat yang ganjil.
32.
Wong
apik-apik padha kapencil — Orang yang baik justru tersisih.
33.
Akeh
wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin — Banyak orang kerja yang halal
justru merasa malu.
34.
Luwih
utama ngapusi — Lebih mengutamakan menipu.
35.
Wegah
nyambut gawe — Malas untuk bekerja.
36.
Kepingin
urip mewah — Inginnya hidup mewah.
37.
Ngumbar
nafsu angkara murka, nggedhekake duraka — Melepas nafsu angkara murka, memupuk
durhaka.
38.
Wong
bener thenger-thenger — Orang (yang) benar termangu-mangu (dan kesulitan).
39.
Wong
salah bungah — Orang (yang) salah gembira ria.
40.
Wong
apik ditampik-tampik-– Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
41.
Wong
jahat munggah pangkat— Orang (yang) jahat naik pangkat.
42.
Wong
agung kasinggung— Orang (yang) mulia dilecehkan.
43.
Wong
ala kapuja— Orang (yang) jahat dipuji-puji.
44.
Wong
wadon ilang kawirangane— perempuan hilang malunya.
45.
Wong
lanang ilang kaprawirane— Laki-laki hilang perwira/kejantanannya (sifat
kesatria).
46.
Akeh
wong lanang ora duwe bojo— Banyak laki-laki tak mau beristri.
47.
Akeh
wong wadon ora setya marang bojone— Banyak perempuan ingkar pada suami.
48.
Akeh
ibu padha ngedol anake— Banyak ibu menjual anak.
49.
Akeh
wong wadon ngedol awake— Banyak perempuan menjual diri.
50.
Akeh
wong ijol bebojo— Banyak orang tukar istri/suami.
51.
Wong
wadon nunggang jaran— Perempuan menunggang kuda (melanggar kodratnya karena
menjadi kepala keluarga).
52.
Wong
lanang linggih plangki— Laki-laki naik tandu (pemalas).
53.
Randha
seuang loro— Dua janda seharga seuang (Red: seuang = 8,5 sen).
54.
Prawan
seaga lima— Lima perawan seharga lima picis (murah).
55.
Dhudha
pincang laku sembilan uang— Duda pincang laku sembilan uang (asal kaya walaupun
jelek tetap laku).
56.
Akeh
wong ngedol ngelmu— Banyak orang berdagang ilmu (ustad, ulama gadungan).
57.
Akeh
wong ngaku-aku— Banyak orang mengaku diri (kampanye).
58.
Njabane
putih njerone dhadhu— Di luar putih di dalam jingga.
59.
Ngakune
suci, nanging sucine palsu— Mengaku suci, tapi palsu belaka.
60.
Akeh
bujuk akeh lojo— Banyak tipu banyak muslihat.
61.
Akeh
udan salah mangsa— Banyak hujan salah musim.
62.
Akeh
prawan tuwa— Banyak perawan tua.
63.
Akeh
randha nglairake anak— Banyak janda melahirkan bayi (tanpa nikah).
64.
Akeh
jabang bayi lahir nggoleki bapakne — Banyak anak lahir mencari bapaknya.
65.
Agomo
akeh sing nantang— Agama banyak ditentang.
66.
Prikamanungsan
saya ilang— Perikemanusiaan semakin hilang.
67.
Omah
suci dibenci— Rumah suci (tempat ibadah) dijauhi.
68.
Omah
ala saya dipuja— Rumah maksiat makin dipuja.
69.
Wong
wadon lacur ing ngendi-endi— Perempuan menjual diri dimana-mana.
70.
Akeh
laknat— Banyak kutukan
71.
Akeh
pengkianat— Banyak pengkhianat.
72.
Anak
mangan bapak—Anak makan (menindas) bapak.
73.
Sedulur
mangan sedulur—Saudara makan (menindas) saudara.
74.
Kanca
dadi mungsuh—Kawan menjadi lawan.
75.
Guru
disatru—Guru dimusuhi.
76.
Tangga
padha curiga—Tetangga saling curiga.
77.
Kana-kene
saya angkara murka — Angkara murka semakin menjadi-jadi.
78.
Sing
weruh kebubuhan—Barangsiapa tahu terkena beban.
79.
Sing
ora weruh ketutuh—Sedang yang tak tahu disalahkan.
80.
Besuk
yen ana peperangan—Kelak jika terjadi perang.
81.
Teka
saka wetan, kulon, kidul lan lor—Datang dari timur, barat, selatan, dan utara
(perang dunia).
82.
Akeh
wong becik saya sengsara— Banyak orang baik makin sengsara.
83.
Wong
jahat saya seneng— Sedang yang jahat makin bahagia.
84.
Wektu
iku akeh dhandhang diunekake kuntul— Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
85.
Wong
salah dianggep bener-–Orang salah dipandang benar.
86.
Pengkhianat
nikmat—Pengkhianat nikmat.
87.
Durjana
saya sempurna— Durjana semakin sempurna.
88.
Wong
jahat munggah pangkat— Orang jahat naik pangkat.
89.
Wong
lugu kebelenggu— Orang yang lugu dibelenggu.
90.
Wong
mulya dikunjara— Orang yang mulia dipenjara.
91.
Sing
curang garang— Yang curang berkuasa.
92.
Sing
jujur kojur— Yang jujur sengsara.
93.
Pedagang
akeh sing keplarang— Pedagang banyak yang tenggelam.
94.
Wong
main akeh sing ndadi—Penjudi banyak merajalela.
95.
Akeh
barang haram—Banyak barang haram.
96.
Akeh
anak haram—Banyak anak haram.
97.
Wong
wadon nglamar wong lanang—Perempuan melamar laki-laki.
98.
Wong
lanang ngasorake drajate dhewe—Laki-laki memperhina derajat sendiri.
99.
Akeh
barang-barang mlebu luang—Banyak barang terbuang-buang.
100.
Akeh
wong kaliren lan wuda—Banyak orang lapar dan telanjang.
101.
Wong
tuku ngglenik sing dodol—Pembeli membujuk penjual.
102.
Sing
dodol akal okol—Si penjual bermain siasat.
103.
Sing
kebat kliwat—Yang tangkas lepas.
104.
Sing
telah sambat—Yang terlanjur menggerutu.
105.
Sing
gedhe kesasar—Yang besar tersasar.
106.
Sing
cilik kepleset—Yang kecil terpeleset.
107.
Sing
anggak ketunggak—Yang congkak terbentur.
108.
Sing
wedi mati—Yang takut mati.
109.
Sing
nekat mbrekat—Yang nekat mendapat berkat.
110.
Sing
jerih ketindhih—Yang hati kecil tertindih.
111.
Sing
ngawur makmur—Yang ngawur makmur.
112.
Sing
ngati-ati ngrintih—Yang berhati-hati merintih.
113.
Sing
ngedan keduman—Yang main gila menerima bagian.
114.
Sing
waras nggagas—Yang sehat pikiran berpikir.
115.
Wong
tani ditaleni—Orang (yang) bertani diikat.
116.
Wong
dora ura-ura—Orang (yang) bohong berdendang.
117.
Bupati
dadi rakyat—Pegawai tinggi menjadi rakyat.
118.
Wong
cilik dadi priyayi—Rakyat kecil jadi priyayi.
119.
Sing
mendele dadi gedhe—Yang curang jadi besar.
120.
Sing
jujur kojur—Yang jujur celaka.
121.
Akeh
omah ing ndhuwur jaran—Banyak rumah di punggung kuda.
122.
Wong
mangan wong—Orang makan sesamanya.
123.
Anak
lali bapak—Anak lupa bapa.
124.
Wong
tuwa lali tuwane—Orang tua lupa ketuaan mereka.
125.
Pedagang
adol barang saya laris—Jualan pedagang semakin laris.
126.
Bandhane
saya ludhes—Namun harta mereka makin habis.
127.
Sing
edan bisa dandan—Yang gila bisa bersolek.
128.
Ana
peperangan ing njero—Terjadi perang di dalam.
129.
Durjana
saya ngambra-ambra—Kejahatan makin merajalela.
130.
Penjahat
saya tambah—Penjahat makin banyak.
131.
Wong
apik saya sengsara—Yang baik makin sengsara.
132.
Kebingungan
lan kobongan—Karena bingung dan kebakaran.
133.
Wong
bener saya thenger-thenger-–Si benar makin tertegun.
134.
Wong
salah saya bungah-bungah—Si salah makin sorak sorai.
135.
Isih
untung sing waspada—Masih lebih beruntung si waspada.
136.
Angkara
murka saya ndadi—Angkara murka semakin menjadi.
137.
Kana-kene
saya bingung-–Di sana-sini makin bingung.
138.
Pedagang
akeh alangane—Pedagang banyak rintangan.
139.
Akeh
buruh nantang juragan—Banyak buruh melawan majikan.
140.
Juragan
dadi umpan—Majikan menjadi umpan.
141.
Wong
pinter diingar-ingar—Si pandai direcoki.
142.
Wong
ala diuja—Si jahat dimanjakan.
143.
Wong
ngerti mangan ati—Orang yang mengerti makan hati.
144.
Bandha
dadi memala—Harta benda menjadi penyakit
145.
Pangkat
dadi pemikat—Pangkat/jabatan menjadi pemukau.
146.
Patihe
kepala judhi—Maha menterinya bandar judi.
147.
Wong
sing atine suci dibenci—Yang berhati suci dibenci.
148.
Pemerasan
saya ndadra—Pemerasan merajalela.
149.
Pitik
angrem saduwure pikulan—Ayam mengeram di atas pikulan.
150.
Begal
pada ndhugal—Penyamun semakin kurang ajar.
151.
Rampok
padha keplok-keplok—Perampok semua bersorak-sorai.
152.
Wong
jaga nyolong sing dijaga—Si penjaga mencuri yang dijaga.
153.
Wong
njamin njaluk dijamin—Si penjamin minta dijamin.
154.
Akeh
wong mendem donga—Banyak orang mabuk doa.
155.
Angkara
murka ngombro-ombro—Angkara murka menjadi-jadi.
156.
Agama
ditantang—Agama ditantang.
157.
Akeh
wong angkara murka—Banyak orang angkara murka.
158.
Nggedhekake
duraka—Membesar-besarkan durhaka.
159.
Ukum
agama dilanggar—Hukum agama dilanggar.
160.
Prikamanungsan
di-iles-iles—Perikemanusiaan diinjak-injak.
161.
Kasusilan
ditinggal—Tata susila diabaikan.
162.
Wong
cilik akeh sing kepencil—Rakyat kecil banyak tersingkir.
163.
Negarane
ambane saprawolon—Lebar negeri seperdelapan dunia.
164.
Wong
jahat ditampa—Orang jahat diterima.
165.
Wong
suci dibenci—Orang suci dibenci.
166.
Timah
dianggep perak—Timah dianggap perak.
167.
Emas
diarani tembaga—Emas dibilang tembaga.
168.
Dandang
dikandakake kuntul—Gagak disebut bangau.
169.
Wong
dosa sentosa—Orang berdosa sentosa.
170.
Wong
cilik disalahake—Rakyat jelata dipersalahkan.
171.
Wong
nganggur kesungkur—Si penganggur tersungkur.
172.
Wong
sregep krungkep—Si tekun terjerembab.
173.
Wong
nyengit kesengit—Orang busuk hati dibenci.
174.
Buruh
mangluh—Buruh menangis.
175.
Wong
sugih krasa wedi—Orang kaya ketakutan.
176.
Wong
wedi dadi priyayi—Orang takut jadi priyayi.
177.
Senenge
wong jahat-–Berbahagialah si jahat.
178.
Susahe
wong cilik—Bersusahlah rakyat kecil.
179.
Akeh
wong dakwa dinakwa—Banyak orang saling tuduh.
180.
Tindake
manungsa saya kuciwa—Ulah manusia semakin tercela.
181.
Wong
Jawa kari separo—Orang Jawa tinggal setengah.
182.
Landa-Cina
kari sejodho — Belanda-Cina tinggal sepasang.
183.
Sing
eman ora keduman—Si hemat tidak mendapat bagian.
184.
Sing
keduman ora eman—Yang mendapat bagian tidak berhemat.
185.
Akeh
wong mbambung—Banyak orang berulah dungu.
186.
Akeh
wong limbung—Banyak orang limbung (kosong pikiran).
2.3.3 PembagianzamanmenurutPrabu
Jaya Baya
Selain yang telah disebutkan di atas, Prabu
Jayabaya pada akhirnya membagi zaman yang sudah, sedang dan akan terjadi nanti,
khususnya di Nusantara. Lama waktunya yaitu 2.100 tahun matahari (1 tahun
matahari = ±10,3 tahun kita sekarang). Ramalannya itu lalu menjadi Tri-takali,
yaitu:
1.
Zaman
permulaan disebut KALI-SWARA, lamanya 700 th matahari (721 th bulan). Pada
waktu itu di jawa banyak terdengar suara alam, gara-gara geger, halintar,
petir, serta banyak kejadian-kejadian yang ajaib dikarenakan banyak manusia
menjadi dewa dan dewa turun ke Bumi menjadi manusia.
2.
Zaman
pertengahan disebut KALI-YOGA. Pada waktu ini banyak perubahan pada Bumi, Bumi
belah menyebabkan terjadinya pulau kecil-kecil, banyak makhluk yang salah
jalan, karena orang yang mati banyak menjelma (nitis).
3.
Zaman
akhir disebut KALI-SANGARA, 700 th. Pada waktu ini banyak hujan salah mangsa
(musim) dan banyak kali dan bengawan (sungai) bergeser, Bumi kurang manfaatnya,
menghambat datangnya kebahagian, mengurangi rasa-terima, sebab manusia yang
mati banyak yang tetap memegang ilmunya.
Tiga zaman tersebut lalu masing-masingnya dibagi
lagi menjadi Saptama-kala, artinya zaman kecil-kecil. Tiap zaman rata-rata
berumur 100 tahun matahari (103 tahun bulan). Seperti berikut ini:
ZAMAN
KALI-SWARA
dibagi menjadi:
1)
Kala-kukila
100 th, (th. 1-100): Hidupnya orang seperti burung, berebutan mana yang kuat
dia yang menang, belum ada raja, jadi belum ada yang mengatur/memerintah.
2)
Kala-buddha
(th. 101-200): Permulaan orang Jawa masuk agama Buddha menurut syariat Hyang
Jagadnata (Bhatara Guru).
3)
Kala-brawa
(th. 201 – 300): Orang-orang di Jawa mengatur ibadahnya kepada Dewa, sebab
banyak Dewa yang turun ke bumi menyiarkan ilmu.
4)
Kala-tirta
(th. 301-400): Banjir besar, air laut menggenang daratan, di sepanjang air itu
bumi menjadi belah dua. Yang sebelah barat disebut pulau Sumatra, lalu banyak
muncul sumber-sumber air, disebut umbul, sedang, telaga, dsb.
5)
Kala-swabara
(th. 401-500): Banyak keajaiban yang tampak atau menimpa diri manusia.
6)
Kala-rebawa
(th. 501-600): Orang Jawa mengadakan keramaian-kesenian dsb.
7)
Kala-purwa
(th. 601-700): Banyak tumbuh2an keturunan orang-orang besar yang sudah menjadi
orang biasa mulai jadi orang besar lagi.
ZAMAN KALA-YOGA
dibagi menjadi:
1)
Kala-brata
(th. 701-800): Orang mengalami hidup sebagai fakir.
2)
Kala-drawa
(th. 801-900): Banyak orang mendapat ilham, orang pandai menerangkan hal-hal
yang gaib.
3)
Kala-dwawara
(th. 901-1.000): Banyak kejadian yang mustahil.
4)
Kala-praniti
(th. 1.001- 1.101): Banyak orang mementingkan ulah pikir.
5)
Kala-teteka
(th. 1.101 – 1.200): Banyak orang datang dari negeri-negeri lain.
6)
Kala-wisesa
(th. 1.201 – 1.300): Banyak orang yang terhukum.
7)
Kala-wisaya
(th. 1.301 – 1.400): Banyak orang memfitnah.
ZAMAN
KALA-SANGARA
dibagi menjadi:
1)
Kala-jangga
(th. 1.401 – 1.500): Banyak orang ulah kehebatan.
2)
Kala-sakti
(th. 1.501 – 1.600): Banyak orang ulah kesaktian.
3)
Kala-jaya
(th. 1.601 – 1.700): Banyak orang ulah kekuatan untuk tulang punggung
kehidupannya.
4)
Kala-bendu
(th. 1.701 – 1.800): Banyak orang senang berbantahan, akhirnya bentrokkan
(zaman kita sekarang).
5)
Kala-suba
(th. 1.801 – 1.900 ): Pulau Jawa mulai sejahtera, tanpa kesulitan, orang
bersenang hati.
6)
Kala-sumbaga
(th. 1.901 – 2.000): Banyak orang tersohor pandai dan hebat.
7)
Kala-surasa
(th. 2.001 – 2.100): Pulau Jawa ramai sejahtera, serba teratur, tak ada
kesulitan, banyak orang ulah asmara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mitos adalah serangkaian cerita masa lalu yang dianut oleh masyarakat
setempat yang di akui kebenarannya tetapi belum terbukti konkrit kebenarannya secara
ilmiah.Untuk itu, marilah kita
semua, khususnya para pemimpin dan generasi muda bangsa ini untuk kembali pada
jati diri kita sendiri sebagai bangsa Nusantara. Mari kita menilai apa yang
sudah diwasiatkan oleh para leluhur di atas sebagai bahan refleksi untuk
menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara kedepannya. Banggalah menjadi
bagian dari bangsa yang dulunya sangat besar – bahkan pernah memimpin dunia –
ini, dengan terus membangkitkan rasa percaya diri dan tidak terlalu gandrung
dengan budaya bangsa lain. Paculah kemajuan bangsa dengan banyak berkarya dan
tidak hanya menjadi masyarakat konsumtif, yang ujung-ujungnya jadi “sapi
perahnya” bangsa lain. Karena kita ini hebat dan punya kebudayaan yang tinggi,
yang dulunya pernah disegani di seluruh dunia.
3.2 Saran
Penulis
menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam makalah yang berjudul “MitosRamalan Joyo Boyo” ini. Oleh karena itu dibutuhkan kritik yang
membangun serta saran dari pembaca demi terciptanya karya yang lebih baik.
Diharapkan penulisan makalah ini dapat menjadi informasi yang berguna dengan
baik dan dapat memberi manfaat bagi yang membaca.
DAFTAR PUSTAKA
Dewabrata.2011.Lahirnya
Jayabaya,(online)
Diakses
11 Oktober 2014.
Gresikgress.2012.Lahirnya
Riwayat singkat prabu jayabaya,(online)
http://gresikgress.blogspot.com/2012/10/riwayat-singkat-prabu-jayabaya.html. Diakses 11 Oktober 2014.
Wikipedia.id.2014.Mitos,(online)
http://id.wikipedia.org/wiki/Mitos.
Diakses 11 Oktober 2014.
Oediku.2013.Lahirnya Jayabaya,(online)
http://oediku.wordpress.com/2013/12/24/ramalan-jayabaya-jongko-joyoboyo-tentang-nusantara/ .
Diakses 11 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar